Breaking News

Surat Cinta untuk Anisa

Surat Cinta untuk Anisa - Cerpen tentang ketangguhan seorang pemuda untuk mendapatkan wanita yang soleha, dan dapat merubah hidupnya kearah yang lebih baik, akankah pemuda tersebut mendapatkan hati wanita soleha tersebut?

Surat Cinta untuk Anisa





GADIS MUDA dengan wajah tertunduk melintas mengayuh sepeda dengan wajah memerah. Sinar mentari yang terik menyengat kulit putihnya. Gadis cantik berkerudung biru itu adalah Anisa, anak seorang Ustad ternama di sekitar kediamanku.

Edan…Nisa itu makin lama kok makin cuwantik ya…” ucap Septo, memecah lamunanku tentang Anisa yang baru melintas di hadapanku, membayang lekat dalam ingatanku. Sosok wanita muslim yang cantik jelita, berbudi pekerti yang baik dan sangat santun pada semua orang.

“Susah lo… Kalau anak Pak Ustadz gimana cara deketinnya…” Septo masih membahas Anisa, setelah wajah cantiknya menghilang di sudut gang menuju arah pesantren dimana gadis itu tinggal.
Masih tentang Anisa yang ada di kepalaku, gadis rupawan itu sudah menghipnotis setiap ingatan dan lamunku. Membuat hangat relung di jiwaku bila mengingat atau sekedar membayangkan dirinya terseyum dengan jilbab biru ke arahku, namun itu hanya mimpi bagiku.

Sesungguhnya aku belum pernah melihat senyum cantik itu dari bibir Anisa, bukan karena gadis itu sombong, tapi karna Anisa berbeda dengan gadis kebanyakan.  Anisa begitu tertutup dan amat santun. Anisa terlalu sempurna memang untukku. Pernah suatu sore aku berbincang dengan Samsul sahabatku tentang Anisa. Samsul habis-habisan meledekku saat kuutarakan rasa penasaranku tentang Anisa.

Sampean itu jangan terlalu menghayal mau dekat dengan Dik Nisa. Nisa itu gadis muslimah, lha sampean?”  begitu Samsul menggodaku dan kata-kata meledek. Kata-kata  Samsul itu menjadi cambuk dan menyadarkanku bahwa ada kasta yang berbeda yang mungkin menjadi tolak ukur Anisa untuk berpikir ulang menjadikanku sosok suami. Aku terseyum simpul bahkan tidak sedikitpun aku hiraukan, inti yang ada dalam hatiku adalah niat, minat, dan usaha pikirku, hasilnya seperti apa, biar Allah saja yang menentukan.

Tekadku semakin bulat untuk berusaha mendekati Anisa, sebelum digaet orang pikirku. Pucuk dicinta ulam pun tiba, mungkin kata itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keberuntunganku pagi ini, bagaimana tidak, saat aku menunggu Anisa dan melihat sosoknya sudah terlihat bersama tiga orang santri berjalan menuju warung, tak jauh dari counter pulsaku.

“Dik Nisa mau belanja?” tanyaku, saat Anisa sudah sampai dan berdiri tak jauh dari   tempatku duduk.

“Oh, iya Mas,” balasnya tertunduk, tidak sedikitpun mata indahnya menatap ke arahku. Sejujurnya aku ingin sekali melihat bola matanya yang berwarna coklat itu, sayang Anisa terlalu solehah untukku pandang.

 “Maaf, bisa bicara sebentar dengan Dik Nisa,” pintaku mengimbangi kesantunan Anisa dan teman-temanya.

“Mohon maaf Mas, kalau Mas ada keperluan dengan Nisa bicara saja disini,” jawabnya ramah, tapi begitu jelas terdengar tegas dalam kalimatnya.

“Tidak bisa bicara berdua saja?” kataku, membuat ketiga santri yang mengantar Anisa menatap sinis ke arahku.

“Maaf, Mas… Tidak baik bicara berdua-duaan, Nisa takut terjadi fitnah. Kalau Mas Arif mau bicara dengan Nisa silahkan, tapi kalau Mas keberatan Nisa mau permisi saja, ada keperluan lain,” ujar Anisa, lalu berjalan perlahan meninggalkanku. Aku tidak marah apalagi kecewa dengan penolakan Anisa, justru aku semakin penasaran dan ingin lebih banyak mengenal sosok wanita lembut berwajah cantik itu.

Hari-hari yang aku lewati memang tidak begitu berkesan dan tidak juga memberikan kesan yang baik seperti kebanyakan orang. Aku hanyalah lelaki biasa dengan penghasilan setandar dari counter pulsa yang menjadi lahan usahaku.

Malam itu kuputuskan untuk menulis surat saja pada Anisa, untuk mengutarakan isi hati ku. Ya, jika dengan berbincang berdua tidak bisa, maka cara ini mungkin bisa membantu melancarkan komunikasi kami.


Untuk Anisa
Assalamu’alaikum. Wr .Wb
Maaf jika surat ini mengganggu waktu istirahat Dik Nisa. Sejujurnya Mas ingin minta maaf atas kelakuan Mas yang mungkin tidak sopan mengajak Nisa ngobrol berdua minggu lalu.
Dek Nisa, Mas Arif hanya ingin mengutarakan rasa kagum  Mas akan sosok Dik Nisa. Demi Allah, Mas tidak bisa membohongi perasaan ini kalau Mas sangat menyukai Dik Nisa. Hmm... kira-kira, apakah Dik Nisa mau menjadi pacar Mas? Maaf, kalau ini terdengar lancang, tapi sejujurnya Mas ingin sekali bisa berkomunikasi dengan Dik Nisa. Mohon di balas ya, Dik…
Dari yang mengagumimu…

Setelah kubaca berulang-ulang isi surat itu begitu sangat norak dan tidak puitis seperti surat pujangga, namun aku tetap nekat menitipkan surat itu pada Rahma, teman satu kamar Nisa , setelah surat itu kukirim aku tidak pernah melihat sosok Nisa untuk sekedar ke warung atau melintas dengan sepedanya seperti biasanya. Ada apa dengan Nisa? Apa dia diberi hukuman karena menerima surat dariku? Ada sedikit rasa cemas dan penasaran berkecamuk dalam hatiku.

Seminggu setelah surat kutitipkan pada Rahma dan setelah hampir seminggu aku tidak melihat Nisa melintas di depan counter-ku, akhirnya Rahma datang menghampiriku yang sedang asik main game lewat komputer di counter-ku.

“Maaf  Mas Arif, Rahma mau isi pulsa untuk Pak Ustad. Ini nomornya,” kata Rahma begitu sopan. Belum sempat aku membalas ucapanya, gadis itu langsung melanjutkan ucapanya.

“Dan ini ada balasan surat dari Mbak Nisa,” aku terdiam, entah merasa senang atau malah terkesima tak percaya Nisa membalas suratku. Setelah sosok Rahma menghilang ke arah gang masuk menuju pesantren, kusambar surat itu lantas perlahan kubuka. Terlihat ukiran cantik tulisan kapital yang sangat indah dengan hiasan gambar bunga sepertinya Nisa melukis sendiri gambar itu, lalu kubaca perlahan selembar kertas merah muda yang kini dalam genggamanku.




Teruntuk Mas Arif
Assalamu’alaikum. Wr. Wb

Maaf jika Nisa terlambat membalas surat dari Mas Arif, bukan karena tidak suka atau sibuk, tapi Nisa baru sembuh dari sakit. Terimakasih untuk rasa kagum Mas Arif pada Nisa. Jujur Nisa bingung harus berkata apa karena baru kali ini Nisa mendapat surat dari seorang lelaki.

Nisa minta maaf  jika balasan surat ini tidak berkenan di hati Mas, tapi sejujurnya Nisa tidak ingin menjalin hubungan dengan ikatan atas nama pacaran dalam Islam, yang Nisa pelajari itu tidak baik Mas.

Yang Nisa inginkan hanyalah  hubungan yang baik dimata lingkungan dan baik di mata Allah.
Wassalamu’alaikum. Wr Wb.

Surat balasan dari Nisa menyadarkanku bahwa prinsip hidup yang kami jalani sangatlah berbeda, tapi itu tidak memutus langkahku untuk dapat memiliki gadis manis itu. Kami saling berbalas surat untuk melancarakan komunikasi diantara kami. Pernah sesekali dalam suratnya yang kedua Nisa mengingatkanku untuk sholat, yang jujur sudah lama aku tinggalkan. Nisa juga memberitahu banyak hal tentang agama yang belum pernah kudengar sebelumnya.

Kedekatanku dengan Anisa tidak bisa di bilang berpacaran atau berhubungan layaknya sepasang kekasih, kami hanya sekedar berbalas surat dan saling berbagi tanpa tahu kejelasan dalam hubungan kami. Seperti yang Nisa sampaikan dalam suratnya, ia hanya ingin menjalani hubungan yang baik dimata lingkungan dan baik dimata Allah.

Dalam suratku berikutnya, aku sengaja memberikan bungkusan kecil untuk Anisa, bukan sesuatu yang berharga, tapi itu hanyalah sehelai jilbab warna merah marun, warna kesukaanku. Aku tulis disana jika aku ingin sekali melihat Nisa mengenakanya, jika ia memang menyukai jilbab pemberian dariku itu.

Balasan surat Anisa kuterima tiga hari setelah surat dan jilbab itu kutitipkan pada post cantik dan ramah bernama Rahma sahabat Nisa. Kali ini Nisa membalas suratku lebih panjang dengan dua lembar kertas merah muda dan sebuah tasbih tangan dengan jumlah 33 butir, tasbih berwarna hijau tua dengan ukiran cantik lafadz Allah SWT yang begitu agung.

Nisa menuliskan nasihat berupa sindiran jika ia ingin memiliki pasangan hidup yang dapat menjadi Imam di dunia dan di akhirat untuknya dan keluarganya kelak. Tulisan Nisa bagaikan cambuk untukku berpikir jika aku jauh dari yang ia harapkan, namun kata-kata dalam surat Nisa seolah menjadi obat yang amat mujarab, yang dapat membuka mata hatiku untuk sadar mengingat sang pencipta yang Maha Agung dan Maha Pengampun itu. Perlahan dan pasti aku pelajari buku-buku agama yang Nisa pinjamkan untukku melalui Rahma. Masya Allah, banyak sekali pelajaran yang sebelumnya tidak aku dapatkan dari siapapun.

Anisa banyak menyadarkan aku akan satu hal, yaitu keimanan dan ketaatan kepada Allah. Aku berusaha membuka hati yang baru dan mulai menata kehidupanku agar dapat menjadi seseorang yang lebih baik, bukan baik dimata Anisa namun aku ingin baik dimata Tuhan dan lingkunganku.

 Aku tidak menghiraukan saat Samsul kuusir pulang untuk tutup counter, karena aku akan melakukan shalat Jum’at berjamah di masjid pesantren.

“Wah…sejak kapan sampean jadi alim, Rif…” ledek Samsul saat aku tinggalkan. Aku terus berjalan menuju masjid besar di tengah pesantren modern yang belum pernah aku masuki sebelumnya.

Setelah shalat Jum’at usai, aku sengaja berlama-lama di masjid yang terasa menyejukan hatiku, walaupun tidak ada kipas angin apalagi AC, tapi sungguh entah itu hanya perasaanku atau memang begitu adanya. Aku merasa nyaman, tentram, dan tidak merasakan apapun kecuali kedamaian dan kesejukan.

“Mas Arif…” seseorang memanggilku saat aku masih memuji nama Allah dengan tasbih yang Nisa berikan padaku. Aku berbalik, lalu kutatap lekat-lekat sosok itu.

“Pak Ustad…” kataku, lalu kusalami dan kucium tangannya yang harum bagai diberi parfum beraroma khusus.

“Saya senang melihat anak muda seperti Mas Arif, meski sibuk di counter tapi masih sempat melakukan shalat jum’at berjamah di sini, tidak seperti anak muda kebanyakan,” kata Pak Ustad, yang tak lain ayah Anisa. Sungguh aku tersipu, baru kali itu aku bertemu dengan orang besar yang sangat di hormati oleh warga sekitar ditempat tinggalku. Akhirnya kami berbincang sejenak, beliau begitu lugas menasihatiku dengan bahasa yang sangat ramah, tidak sedikitpun terdengar bahasa menghakimi seperti orang pintar kebanyakan.

Saat aku akan meninggalkan mesjid besar itu, aku melihat Nisa berjalan melintas dengan wajah tertunduk bersama Rahma dan dua sahabatnya, entah mau kemana mereka, pikirku. Aku tersenyum bangga dan senang saat mengetahui jilbab yang dikenakan oleh Nisa adalah jilbab merah marun pemberianku. Sulit kuungkap dengan kata-kata bahwa wanita yang sangat kucintai terlihat cantik dengan jilbab itu.

Roda kehidupan terus mengelinding. Aku merasakan banyak sekali hal yang sudah kulalui dengan begitu indah, apalagi setelah tahu bagaimana seharusnya seorang muslim menjalani hari-harinya, yang saling mengagumi satu sama lain. Antara aku dan Anisa, itu pun menjadi satu kenikmatan yang tak dapat kulukiskan akan keindahannya.

***
SUATU SORE,  datang seorang pria dan seorang lelaki paruh baya berpakaian putih datang ke counter-ku. Sungguh aku tidak menerka siapa pemuda handsome dan seorang pria tua yang nampak sudah menjadi seorang ustad dengan pakaian yang ia kenakan, begitu aku menerkanya.  

Pemuda itu rupanya Firman, sahabatku ketika bersekolah di SMP dulu. Wajahnya sudah berubah, tidak terlihat cengeng seperti dulu.

“Wah, sudah sukses sekarang Antum,” ucapnya seraya memelukku. Firman adalah sahabat terbaikku sejak dulu. Komunikasi kami terputus karena Firman kuliah ke Kairo, Mesir, sedang aku hanya kuliah di universitas swasta di Sukabumi.

“Justru kamu yang sukses, sudah jadi Ustad muda, bahkan sudah memimpin pesantren milik Ayahmu,” balasku, mengimbangi Firman seraya menyuguhkan minuman untuknya dan ayahnya. Lama kami berbincang saling berbagi pengalaman. Sesungguhnya Firman yang lebih banyak menceritakan pengalamanya umroh, bahkan naik haji saat usianya 18 tahun selepas SMA. Aku sangat kagum dengan sosok Firman, dia masih muda, ta’at dan begitu berprestasi.

***
HAMPIR SEMINGGU Anisa tidak membalas surat terahir yang aku kirimkan bersama kado berisi bros cantik yang aku pilih sendiri di sebuah toko perhiasan. Aku yakin sekali Nisa akan menyukai bros itu, karena sangat terlihat cantik dan kilaunya membuatku langsung memilihnya tanpa banyak pertimbangan. Aku sempat senang saat Rahma datang untuk membeli pulsa untuk Pak Ustad seperti biasa.

“Dik Rahma mau beli pulsa untuk Pak Ustad?” tanyaku sebelum Rahma sempat bicara saat sosoknya datang berdiri di hadapanku.

“Wah, Rahma jadi malu, rupanya Mas Arif sudah tahu,” balasnya sambil tersenyum, spontan lesung pipinya terlihat jelas bagai pusaran air yang begitu jelas di pipinya yang saat ini mulai merona.

“Tapi sayang, Mas. Kali ini Rahma tidak bawa surat seperti biasanya,” ujar Rahma sambil tersenyum. Seketika aku melemah, lantas duduk dengan perasaan kurang antusias.

“Lho, kok wajah Mas Arif mendung begitu?” tanya Rahma ingin tahu.
“Maaf, Dik Rahma. Hmm, kenapa ya Nisa tidak membalas surat yang Mas kirim beberapa waktu lalu?” tanyaku, yang sejujurnya gadis manis itu tidak tahu jawabannya apa. Rahma tidak seperti biasanya, ia banyak bercerita tentang Anisa kepadaku, dimulai dari betapa senangnya Nisa mendapat jilbab merah marun, sampai yang terakhir, bros indah yang kuceritakan sebelumnya.

Hatiku senang meski Nisa tidak membalas suratku, paling tidak aku tahu dari Rahma jika Nisa sangat menyukai barang pemberianku. Dua hari setelah kedatangan Rahma untuk membeli pulsa, datang seorang santri pria membelikan pulsa untuk Pak Ustad. Aku bertanya-tanya mengapa tidak Rahma seperti biasa yang datang, apa Rahma sedang sakit? Atau dia sedang menemani Nisa belanja, pikiranku buyar saat pemuda itu menitipkan amplop untukku.

“Dari Mbak Nisa, Mas…” katanya, lantas pergi begitu saja tanpa sempat aku berterimakasih padanya. Perlahan kubuka surat yang seperti biasa terdapat ukiran cantik itu tergores di selembar kertas merah muda yang kini ada di genggamanku.


Untuk Mas Arif                
Assalamu’alaikum. Wr. Wb
Maaf Mas Nisa baru sempat membalas surat dari Mas karena satu hal. Nisa sangat  senang saat bros cantik itu sampai ditangan Nisa, sungguh itu hadiah terindah yang pernah Nisa dapatkan.
Nisa bukanlah wanita yang tepat untuk Mas. Nisa mohon maaf melalui surat ini. Mas  kemarin malam Abi sudah memutuskan kalau Nisa akan dijodohkan dengan anak dari teman Abi dari Jepara, maaf kalau hal ini melukai hati Mas Arif. Maaf juga kalau Nisa selama ini memberikan harapan semu pada Mas. Maaf kalau Nisa tidak dapat menjadi seperti yang Mas harapkan.
Sungguh, bukan maksud Nisa untuk melukai siapapun, tapi Nisa hanyalah seorang Siti nurbaya di jaman modern. Nisa tidak kuasa menolak permintan Abi yang sudah direncanakan jauh sebelum Nisa di lahirkan. Maafkan Nisa yang sudah membuat hati Mas Arif terluka. Sungguh Nisa tidak bermaksud membuat siapapun terluka karena ini.
Maafkan untuk segala sesuatu yang mungkin dapat melukai Mas. Terimakasih untuk semua kebaikan dan semua hal yang menyenangkan yang Mas berikan untuk Nisa. Mungkin Nisa bukan jodoh Mas Arif, mungkin suatu saat  Mas akan mendapatkan wanita terbaik yang di utus Allah untuk Mas, karena sesungguhnya Allah sudah merencanakan sesuatu yang indah untuk kita di balik satu peristiwa yang kita alami. Terimakasih sekali lagi Nisa ucapkan pada Mas Arif .
Wassalam…

Surat dari Nisa bagai petir yang menyambarku di siang bolong. Dadaku terasa sesak sampai nyaris aku terisak. Sungguh itu hal yang mustahil dan tidak dapat kupercaya, Nisa di jodohkan dengan pria yang belum pernah ia lihat. Oh, mengapa nasib begitu mempermainkan perasanku seperti ini.

Entah kata apa yang tepat yang harus aku ungkapkan untuk menggambarkan perasanku saat ini berkecamuk rasa sedih, rasa tak percaya, tapi tidak sedikitpun aku membenci Nisa, karena sejujurnya aku tahu betul Nisa adalah sosok yang sempurna dan baik. Aku banyak belajar akan sesuatu dari sosok itu, tapi sekarang sosok yang kucintai telah dimiliki orang lain. Aku berusaha ikhlas seperti yang sering Nisa tulis dalam suratnya, ‘pelajaran yang sulit manusia tunaikan adalah belajar ikhlas’. Benar benar sekali apa yang katakan Nisa tentang hal ini, karena aku masih merasa dongkol dengan perasaan ini, tidak bisa berusaha untuk ikhlas dan menerima suratan takdir yang mungkin Tuhan berikan untukku.

Minggu ini Nisa akan dinikahkan dengan seorang pemuda pilihan orang tuanya. Pelaksanaan akad nikah akan di laksanakan di masjid besar di tengah pesantren. Aku belajar ikhlas menerima ini semua, terlebih saat aku tahu bahwa lelaki pilihan Ayah Nisa adalah Firman, sahabatku. Firman lelaki yang baik, yang mungkin tepat mendampingi Nisa akan menjadi imam untuk keluarganya, dunia dan akhirat, seperti yang Nisa inginkan.

 Aku ikut berdoa untuk hari bahagia Nisa, orang yang sangat kucintai dan Firman sahabat terbaikku. Nisa terlihat cantik di balut kebaya muslimah dengan hiasan berkilau di setiap payet bajunya. Satu hal yang membuat hatiku lebih lega dan dapat kuambil hikmah dari kejadian itu adalah, bros cantik yang kuhadiahkan untuk Nisa tersemat begitu indah di bagian kanan jilbabnya, yang terlihat selaras dengan baju kebaya yang Nisa kenakan.

Setelah kudoakan Nisa dan Firman dari kejauhan, aku sengaja meninggalkan mereka lebih awal sebelum ijab kobul dilaksanakan. Aku hanya ingin menitipkan cintaku untuk Anisa pada firman sahabatku.

Aku masih berdiri terpaku mencari-cari dimana sandalku. Disana terlalu banyak tamu, hingga aku kebingungan mencari sandalku, yang kutaruh tidak jauh dari tempat wudhu.

“Ini sandalnya, Mas,” sapa gadis cantik berlesung pipi sambil memberikan sandalku.
“Maaf, tadi Rahma yang mengamankan karena takut tertukar dengan sandal orang lain,” sambung gadis ayu itu seraya tersenyum manis ke arahku. Belum sempat kuucapkan terimakasih, Rahma sudah berlalu begitu saja dengan senyum khasnya. Wajahku terasa panas, dan dadaku berdebar saat Rahma berjalan menjauh meninggalkanku.


SELESAI

1 Komentar

Type and hit Enter to search

Close