Cerpen Bukan Yang Terpilih ;
Aku masih
terpaku menatap jemurn baju
yang sedar tadi tergantng rapih di penjemurn, sesekali angin menghempas membuat
gerakan-kerakan ringan menandakan baju taklama lagiakan kering, aku termenung
bukan menunggu jemuranku kering tanpa kutunggu pada waktunya dia akan kering
juga.
Aku masih
terpaku menatap jemurn baju
yang sedar tadi tergantng rapih di penjemurn, sesekali angin menghempas membuat
gerakan-kerakan ringan menandakan baju taklama lagiakan kering, aku termenung
bukan menunggu jemuranku kering tanpa kutunggu pada waktunya dia akan kering
juga.
Aku masih
terniang ucapan ibu tadi pagi yang dengan sindirn yang pedas membandingkan aku
dengan adikku, adikku baru dua hari yang lalu menerima pinangan kekasihnya,
walalu belum secara resmi tapi kabar itu sudah menjadi buah bibir yang terasa
manis ditelinga keluargaku termasuk ibu tiriku yang dengan bangga memuja Ranti adik perempuanku yang kumaksud.
“Rana,
jangn sampe loh kamu dilangkahi adikmu, masa ia usia sudah hamper masuk
kepala tiga kok belum menikah juga ! jangan juga karna kamu belum menikah
lantas kamu jadi penghalang buat Ranti menuju kebahagiaannya” Tidak ada yang
membelaku saat ibu dengan lantang menegurku dimeja makan, rasa semur tempe yang
semula terasa gurih senyap tampa rasa dilidahku, aku menatap kearah Ayah yang
masih mengunyah makan paginya seolah tidak mendengr apa yang baru saja di
ucapkan istrinya, sedang Ranti masih menatapku dengan tatapan tdaknyaman.
“Jodohkan
sudah ada yang mengatur Bu.” Jawabku pelan.
“Yang
ngatur itu ya pasti ada, yang diaturnya ini ihtiar gak? Kalo kamu
terus-terusan seperti ini Ibu khawatir kamu jadi perawan tua nanti!”. Aku
menelan ludah entah itu rasa hawatir atau malah doa dari mulut ibu tiriku.
Jujur saja dari usia 4 tahun setelah ibu meninggal Ayah memutuskan menikah lagi
dengan ibu tiriku yang sekarang, aku tidak bisa mengatakan ibu tiriku baik,
tapi dia juga tidak jahat seperti ibu tiri dalam cerita drama kebanyakan, dia
tidak pernah memukulku hanya saja ucapannya tajam, tak jarang ucapannya yang
menyakitkan itu sering membuatku menangis. Ayah mernah bercerita padaku entah
itu membesarkan hatiku saja tapi yang jelas kata-katanya mampu membuat hatiku
lebih baik. Kata ayah tidak akan pernah lari jodoh dikejar dulu ibu menikah
dengan Ayah juga memasuki usia tiga puluh jadi aku tidak perlu hawatir dengan
keadaanku sekarang. Kata-kata ayah yang bagai obat mujarap itu seketika hilang
dari pendengaranku setelah semua dipatahkan oleh sindiran yang sangat
menyakitkan.
“Masa iya
perawan tua saja diturunkan keanaknya? Amit-amit !” aku tak kuasa mendengar
ucapan ibutiriku yang terasa panas ditelinga, aku tinggalkan meja makan tampa
berkata apapun lantas pergi menuju kamarku. Sayup kudengar suara ayah berusaha
menegur ibu namun belum selesai ucapan Ayah jawaban ibu lebih terdengar murka
lantas di relai oleh Ranti.
Hari
sudah terasa cukup terik untuk melakukan aktifitas siang, namun aku masih
sendiri dengan rutinitas tak ubahnya seorang pembantu rumah tangga yang setiap
harinya hanya bertemu sayuran, kompor dan mesin cuci, kadang aku berpikir juga
bagai mana jodoh bisa menghampiriku kalau aku saja tidak pernah diijinkan untuk
bekerja diluar rumah. Berusaha berpikir positif dengan keadaanku memang tersa
sulit tekanan dari ibu tiri Ayah yang dingin seperi suami-suami yang takut pada
isitrinya, rutinitas yang membosankan kehidupan yang menjemukan, kadang aku
ingin berlari menjauh dari kehidupan yang sangat dramatis ini namun apa dayaku?
Aku hanya manusia bodoh yang berarap kehidupan akan menjadi lebih baik suatu
saat nanti.
***
“Ranti,
kakak tidak keberatan kalau kamu menikah lebih dulu, asalkan kamu sudah merasa
siap lahir dan batin” Aku berusaha membuka suara saat Ranti adikku baru saja
memasuki kamarku dengan pakaian lengkap setelah pulang kerja.
“Tapi
kak, Ranti tidak mau mendahului kakak.”
“Ranti,
kamu harus memikirkan kebahagiaanmu kadang kakak juga berpikir mungkin ada
benarnya juga yang dikatakan ibu tempohari, tentang kakak sebagai perawan tua.”
Ranti memelukku seketika.
“Kak Rana
mohon maafkan perkataan ibu, Ranti tau betul pasti hati kak rana sakit
mendengar ucapan ibu, tapi Ranti mohon jangan dengarkan ucapan ibu anggap saja
angin lalu.” Balas ranti lembut terlihat tulus dari matanya yang tidak begitu
besar.
“Bagai
mana caranya kakak mengangap tidak mendengar ? sedang jelas sekali kamupun
mendengar bahkan masih terning rasanya ditelinga kakak ucapan menyakitkan itu.”
balasku lantas berusaha mengalihkan tatapanku kelain arah.
Hubunganku
dan Ranti memang terbilang harmonis tapi bukan tak jarang kamipun sering berselisih
faham bahkan tidak bertegur sapa selama berminggu-minggu hanya karena halkecil,
bagaimanapun dia adalah adik tiriku yang terpaut 5 tahun saja denganku. Aku
menyayanginya dan aku tidak mungkin membuat dia terluka hanya karna tidak mau
mendahuluiku menikah.
***
Lambang
sari dan lapis legit
sudah terhidang dipiring hias dengan teman minum kopi petang itu, riuh sedikit
bergemuruh suara-suara ibu-ibu berbicara dengan logat batak kental, pembicaraan
mereka terdengar santai namun terasa seperti adumulut, sesekali riuh bergemuruh
kembali tawa mulai membahana saat sedikit cerita lucu mereka sisipkan dalam
perbincangan tanpa arti itu.
Aku
menatap pemuda dengan jas hitam tersenyum simpul kearahku, aku masih berpikir
keras apa ia itu Gilang calon suami Ranti, wajahnya memang terlihat tampan
namun matanya seperti buaya yang siap menerkam anak itik yang sudah disuguhkan
untuk makan malamnya. Gilang terlihat seperti lelaki yang tidak baik, mungkin
ini hanya pendapatku saja untuk pandangan pertama yang kurang berkesan atau
mungkin memang benar? Tapi yasudahlah biarkan waktu yang menjawab baik buruknya
calon adik iparku itu.
Tawa
kembali riuh kali ini diiringi tepuktangan saat Gilang menyematkan cincin
berwarna perak itu kejemari Ranti yang lentik, ya malam itu mengukir sejarah
kalau Ranti adikku kini resmi bertunangan dengan pujaan hatinya, ucapan selamat
takhenti mengalir dari kerabat dan sahabat yang datang kalaitu.
“Rana,
ini Sofian anak pak Hanafi penjaga sekolah tolong diberi suguhan.” Ayah memecah
lamunanku kala itu, aku tersenyum kearah pria yang dimaksud ayah bernama sopian
itu lantas kusuguhkan secangkir kopi dan sepiring kue basah kemeja tepat
dihadapannya.
“Terimakasih”
Ucapnya terdengar lembut, aku tanpa menjawab lantas pergi menyibukan diri.
Dalam
hatiku aku merasa berkecamuk disatu sisi aku merasa senang dengan pertunangan
Ranti dan Gilang, namun dilain sisi aku merasa malu dengan cemooh para tetangga
yang masih saja membahas kalau aku masih sendiri dan pasti akan menjadi perawantua
seperti yang kudengar.
Aku
melihat raut bahagia dari Ranti dan Gilang malam itu andai aku wanita beruntung
itu yang mendapatkan lelaki yang sesuai denganku, tidak perlu kaya cukup dia
bisa menerima kurang dan lebihku saja hanya itu yang aku pinta tidak lebih,
namun sayang semua yang ku harapkan itu sia-sia semua hanya anggan tampa batas
yang kalau ku bayangkan malah membuat luka hati ini semakin terasa dalam.
Seminggu
setelah acara pertunangan itu usai, Ibu sibuk membawa contoh undangan untuk
Ranti dan Gilang semua terlihat cantik, dan barang pasti mewah ibu meletakkan
ketiga undangan itu dimeja ruang keluarga saat aku dan Ayah masih menyaksikan
acara TV disana.
“Coba
lihat Ayah lebih pilih yang mana? Yang ungu dengan nuansa batik yang cantik
ini, atau yang merah marun dengan nuansa glamor dipadu dengan ikatan pita emas
ini, hemmm jangan bilang Ayah lebih suka dengan yang berwarna putih yang
sederhana tampa motif.” Ibu menunjuk ketiga Undangan itu bergantian, ibu tidak
meminta pendaparku namun tanganku langsung menyentuh undangan cantik berwarna
merah marun berpadu pita emas yang kedua ibu jelaskan tadi.
“Bagus
Rana seleramu sama dengan Ibu, ibu rasa Ranti juga pasti cocok dengan pilihanmu
itu.” aku tersenyum kearah ibu yang terlihat puas dan mengembangkan senyum
penuh arti.
Undangan
yang kupilih disetujui Ranti, hari dan tanggal sudah ditentukan waktu seakan
lebih cepat berlalu, persiapan itu sangat matang dirancang mulai dari ketring,
sampai dekorasi ruang yang seketika menyulap halaman rumahkami yang semulai
biasa menjadi luar biasa.
Lampu-lampu
berkelap-kelip bergantian menandakan pesta pernikahan sudah dipersiapkan dengan
matang, bunga-bunga terpajang cantik dengan aneka warna menghias setiap sudut
rumah kami, bangku-bangku tersusun cantik dibalut pembungkus kursi berwarna
putih berpada dengan warna ungung dari dekorasi yang mewah. Besok pagi acara
pernikahan itu berlangsung dan besok pagi itulah semua berubah drastis tidak
seperti yang direncanakan, waktu menunjukan pukul 7 pagi waktu setempat, Ranti
berteriak histeris saat perias pengantin masih sibuk memoles wajah cantiknya,
semua terasa heran apa sebenarnya yang terjadi mengapa Ranti bisa sehisteris
itu kami semua terasa bingung, setelah beberapa menit waktu berselang ternyata
Gilang membatalkan pernikahan itu dengan sepihak karna satuhal yang tidak
diungkap oleh Ranti saat itu, Ayah murka terlihat wajah marah saat itu.
sementara undangan yang akan menghadiri pernikahan Ranti sudah mulai meamsuki
ruangan, bahkan sudah terlihat beberapa yang duduk dikursi tamu.
“Ini
tidak mungkin dibatalkan!” Ibu bersuara sementara Aku masih memeluk Ranti yang
masih histeris.
“Aku
tidak mau menanggung malu karna ulah calon suamimu yang tidak bertanggung jawab
itu !” ibu terlihat murka lantas menjambak sanggul Ranti sampai terlepas.
“Ibu
Sudah, Ranti tidak salah, kita sampai saat ini tidak tau apa alasan Gilang
memutus semua rencana ini? kita tidak bisa menyalahkan Ranti begitu saja. ”
Balasku mencoba merelai keadaan sementara perisa pengantin masih menatap penuh
rasa takut dengan kejadian itu. sementara ibu menatap Ranti penuh amarah aku
melihat ayah duduk bersandar memegang uluhatinya, aku takut sekali kalau ayah
serangan jantung atau seketika strok.
“Lantas
siapa yang bertanggung jawab untuk ini menurutmu? Ayahmu yang nyaris mati itu?
kamu lihat Ayahmu tidak bisa terima dengan keadaan ini Rana, Bahkan ibu saja
tidak bisa berpikir apapun, melihat undangan yang siap masuk dan siap mendoakan
anak Bangsat ini! Yang ternyata
memealukan ibu dan keluarganya!” aku terdiam sementara hening sesaat yang
terdengar hanya isakan Ranti dan deru nafas dari Ibu yang masih emosi.
“Tapi
bu,”
“Kamu
diam !, Ranti lihat wajah Ibu? Ranti Lihat wajh ibu !” ibu sedikit berteriak
menahan amarah, ranti masih tertunduk tepat disampingku air matanya terus
mengalir bagai mata air mengalir lancer dari hulu menuju hilir.
“PLAKK”
jemari tangan ibu menempel nyaring bersuara dipipi Ranti yang sekarang memerah.
“Jawab
kenapa Gilang tidak datang?
“Ibu
sudah, Saya mohon.” Pintaku tidk digubris ibu masih menggoyang-goyang bahu
Ranti yang masih terisak tanpa suara.
“Anak
Bangsat.!” Ibu kembali menarik kebaya Ranti lantas ayah dengan sigap merelai
dan menenangkan ibu disudut kamar Ranti.
Aku
berusaha mencari tau apa yang terjadi kepada Ranti, sementara Ayah berbicara
entah apa dengan Ibu disudut ruangan. Tak ada jawaban apapun dari mulut ranti
lantas ibu dan Ayah menghampiriku.
“Rana,
kamu harus dengar apa yang ibu akan bicarakan.” Aku menatap ayah bergantian
lalu menatap Ibu kembali.
“Ibu
tidak butuh ucapanmu, dan kami disini, Ayah dan Ibu tidak butuh penolakan. Kamu
duduk,! lantas biarkan tukang rias pengantn itu melakukan pekerjaannya.” Aku
tidak mengerti dengan apa yang dimaksud ibu dan Ayah yang hanya terdiam bagai
sapi yang dicucuk hidungnya.
Aku
melihat wajahku dicermin, riasan itu yang semula berada di tubuh Ranti kini
berpindah ketubuhku tanpa bisa aku menolaknya, apa sebenarnya yang terjadi aku
sama sekali tidak mengerti aku bagai boneka yang siap dimainkan oleh dalang
yang handal yaitu Ibu tiriku, perlahan kakiku menepak anak tangga menuju ruang
utama yang sudah dipenuhi para undangan, air mataku lengser perlahan dada ini
tersa sesak sampai tak kuasa aku terisak, aku menangis bukan karna bahagia tapi
aku menangis karna pedih menjalani getirnya hidup yang aku jalani, pria
berkemeja hitam sudah duduk disamping penghulu aku terasa semakin berat
melangkah saat aku dengan instingku memahami alur cerita yang terlambat aku
sadari. Aku masih terpaku beberapa meter dari hadapan penghulu sementara semua
mata menatap heran kearahku, mungkin banyak anggapan berkomentar Ranti atau
Rana yang menikah ? sesekali mereka melihat undangan lantas mengamati wajahku
yang bersimba air mata.
“Jalan,
duduk dismping Pria itu.” ibu mencengkram tanganku sekeras yang dia mampu, sakit
yang kurasakan karna cengkraman itu tidak sebanding dengan pilu yang aku
rasakan didalam hatiku.
Ini bukan
derama, ini adalah kisah seorang wayang bodoh yang merasa bukan menjadi
pengantin terpilih, ini bukan permainan yang bisa dimainkan hari ini lantas
usai diesok harinya, aku dinikahi seorang pria yang sama sekali tidak kukenal,
aku berusaha mengingat tak sedikitpun ingatanku membuka jalan mengenali pria
yang dengan senyum hangat itu menyapaku, air mataku takkuasi kubendung, basah
menjadi gelisa, sakit bagai teriris hidup begitu kejam mempermainkan hatiku .
0 Komentar