Breaking News

Buket Bunga Untuk Bunda

Buket Bunga Untuk Bunda - Hai sob... Berikut ini merupakan cerpen kisah nyata yang diangkat dari kisah seorang sahabat yang bernama Joan/Kennan dari Kalianda Lampung Selatan. Semoga setelah membaca cerpen ini sahabat dapat mengmbil hikmah yang terkandung didalamnya.

Buket Bunga Untuk Bunda

Buket Bunga Untuk Bunda

AYAH MASIH MENATAP penuh kebencian ke arahku, matanya memerah dan tidak sedikitpun dia iba saat sosok Bunda menangis dan berlutut di kakinya, memohon dengan penuh pengharapan.
“Sampai kapan pun Ayah tidak sudi memaafkanmu!bentaknya penuh emosi. Aku hanya terdiam tanpa sanggup menatap bola matanya yang memerah laksana bola api menyala dalam kegelapan, bagai iblis yang siap melahap dan membabat apa saja yang menjadi penghalang dalam langkahnya.

“Cukup Ayah… Keni anakmu, apapun, bagaimana pun dia adalah anak kita,” Bunda masih saja memohon di kaki Ayah yang berdiri kokoh tanpa rasa kasihan pada sosok Bunda yang bersimbah air mata.

“Ayah, Kakak tidak mungkin terlibat dalam pencurian itu. Aku yakin kakak tidak seperti yang ayah kira,” bela Tinka adikku, seraya menyentuh pundakku. Dia tampak  terpukul setelah melihat Ayah menghantam pipiku dengan bogem mentah, tepat di bibirku yang saat ini mulai terasa hangat dan perlahan darah segar lengser di sudut bibirku.

“Semua sudah jelas, Tinka! Ayah tidak percaya lagi dengan kelakuan anak jahanam  ini!” balas Ayah, lalu kembali tangannya menampar pipiku.

“Ayah cukup….! Ayah, Bunda mohon hentikan…!” isaknya semakin terdengar pedih di telingaku. Demi Tuhan aku sudah membuat orang yang aku sayangi menitikan air mata, sosok yang sangat aku cintai dan aku kasihi.

“Pergi kamu dari rumah ini!” usir Ayah seraya mendorong dadaku dengan penuh kebencian. Tinka masih memeluk pundakku sambil menangis, sedang Bunda terus saja terisak seraya memohon tanpa pernah memperdulikan harga dirinya dalam membelaku.

“Pergi kamu...! Pergi….!! ” Ayah menyeretku dengan paksa, lalu mendorongku dengan kasar di bibir pintu. Aku tidak memohon saat itu, aku tidak membela diri saat Ayah menghakimiku, hanya Bunda dan Tinka adikku yang menjerit, memohon pada Ayah yang telah mengusirku pergi dari rumah.

Tangisan Bunda jelas terdengar semakin pedih saat dengan kasar Ayah menutup pintu dan kini Ayah benar-benar mengusirku pergi.

“Ayah benar-benar mengusirku. Ayah sudah tidak menganggap aku sebagai anaknya lagi….” Aku hanya dapat berkata dalam hati. Sungguh langkah ini terasa berat, saat perlahan kaki ini melangkah menjauh meninggalkan Rumah dimana aku di besarkan. Ini semua murni kesalahanku, kesalahan yang mungkin sulit untuk di maafkan oleh Ayah.

Dua jam yang lalu Ayah menjaminku dari kantor Polisi karena aku dan dua temanku terbukti mencuri laptop seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi, dimana aku menuntut ilmu. Bukan karena aku tidak mampu membeli barang itu. Entah dorongan darimana, aku ikut saja saat Ridho dan Aditya menyeretku ke lubang masalah, yang akhirnya membuatku terusir dari rumah dan diberhentikan secara sepihak dari kampus. Sudah pasti itu hal yang sangat memalukan untukku, terlebih keluargaku.

Langkahku semakin tak tentu arah menyusuri jalan raya yang ramai kendaraan berlalu lalang. Aku harap malam ini hanya mimpi. Yah, mungkin saja ini hanya mimpi dan saat aku terbangun aku masih mendengar Tinka membangunkanku seperti biasa dan kami siap menikmati sarapan pagi di meja makan bersama Ayah dan Bunda.
***
TOK, TOK, TOK…!
“Bangun sudah siang…!” terdengar suara ketukan pintu yang terdengar lembut, membuatku tersentak dan membuyarkan mimpi buruk yang aku alami semalam. Aku kembali mengingat mimpi itu. Aku hanya bermimpi, pikirku, lantas perlahan kutinggalkan tempat tidur dalam keadaan tidak rapi.

“Ayaaah…!” teriak seorang anak berusia 3 tahun, berlari memelukku. Aku terdiam, lalu kuingat-ingat tentang mimpiku semalam. 

“Ayah kenapa? Kok malah bengong?“ sapa seorang wanita cantik, yang sibuk menyiapkan sarapan pagi dengan rol rambut masih menggantung diponinya.

Ya Tuhan, ternyata ini bukan mimpi, entah sudah berapa lama aku meninggalkan rumah. Meninggalkan Ayah, Bunda, dan Tinka. Sosok dihadapanku dan anak yang kini ada dalam pelukanku adalah keluarga baruku, yang telah 3 tahun kubangun.

Sudah kucoba mengubur dalam-dalam tentang kenangan pahit itu, namun tetap saja tak bisa aku lupakan. Hari ini Lina, istriku, membawa beberapa barang belanjaan yang masih terbungkus rapi dengan plastik hitam, dan diletakannya di meja, tepat di hadapanku.

“Ayah….” begitu biasa ia memanggilku.
 “Aku sudah berpikir matang untuk hal ini. Ingat, kita sudah 3 tahun menikah, bahkan anak kita sebentar lagi masuk TK. Carrel selalu bertanya dan ingin sekali bertemu kakek dan neneknya, bahkan dia pernah melukis dan membayangkan mereka dalam selembar kertas, ” ucapnya lembut, seperti biasa membuat hatiku terasa sejuk. Ia tersenyum lalu kembali berbicara.

“Ini ada kain sarung, baju gamis dan jilbab yang aku pilih sendiri. Sarung ini untuk Ayah, gamis ini untuk Bunda dan jilbab ini untuk Tinka, adik iparku yang belum pernah kulihat,” ucapnya lagi dengan kelembutan wanita yang dia miliki. Aku hanya diam tanpa suara. Mataku lekat menatap mata wanita indah yang kucintai. Wanita yang lembut, dia begitu faham dengan apa yang aku rasakan dan aku harapkan.

“Ayah tidak harus datang ke rumah. Ayah cukup kirimkan saja barang-barang ini melalui paket,” saran istriku, yang tak bisa kutolak.

Saran Lina aku terima, kukirim paket yang tidak terlihat besar itu ke rumah Bunda. Entah apa reaksi keluargaku saat menerimanya, apakah Bunda akan senang atau malah Ayah akan membuang paket itu. Aku berusaha untuk biasa dan tidak memikirkan hal itu, tapi tetap saja semua berkecamuk dalam pikiranku.
***
SORE ITU, saat aku pulang bekerja, kulihat Lina dan Carrel sedang asyik bermain di halaman rumah kami yang tidak begitu luas. Lina benar-benar sosok wanita shalehah, bisa dibilang aku beruntung mendapatkan wanita sebaik dia.

“Ayah Utah pulang…” Carrel menyapaku dengan suaranya yang cadel. Kupeluk erat-erat anak lelaki berusia 3 tahun yang sangat kubanggakan itu.

“Ayah pasti tidak percaya dengan amplop yang Ibu pegang ini,” Lina mengeluarkan amplop dari saku celananya. Aku mengerutkan kening tidak mengerti.

“Amplop apa itu, Lin?” tanyaku ingin tahu. Lantas Lina menyerahkan amplop itu padaku.
Kami sudah duduk di ruang tamu, dan perlahan-lahan  amplop itu kubuka dan terlihat jelas ukiran-ukiran tulisan cantik yang sudah dapat kuterka kalau itu tulisan Tinka, adikku.


Teruntuk Kenatan anakku…
Keni… Rasa  haru dan rasa senang Bunda akhirnya tahu dimana keberadaanmu. Bunda begitu merindukanmu, Nak.

Anakku, maafkan segala kekhilafan Ayahmu saat itu. Ayahmu hanya khilaf dan tidak bisa mengontrol emosinya.

Anakku, Bunda tak henti terisak saat menerima pakaian indah yang di berikan istrimu untuk Bunda. Sungguh Bunda tidak bisa melukiskan betapa lega dan senangnya hati ini. Bunda ingin sekali memeluk dan mencium cucu Bunda yang tampan dan tampak pintar di foto yang kalian kirimkan.

Keni percayalah, Ayahmu sudah sangat ingin bertemu denganmu, Nak. Ayah sudah sangat merindukanmu, begitu juga dengan Bunda dan Tinka adik mu. Peluk rindu dan cinta Bunda untuk Lina menatu Bunda dan kecup terhangat untuk Carrel cucu tersayang Bunda.

Keni bunda ingin menerima buket bunga seperti saat dulu kau berikan untuk bunda di hari Ibu, Nak. Pulanglah… kami sangat merindukanmu.

Aku tak kuasa menahan air mata yang lengser di pupil mataku. Lina memeluk bahuku. Sungguh ini semua berkat Lina, yang begitu ingin mempersatukan aku dan keluargaku, sehingga harapan yang sejak dulu terkubur karena rasa takutku pada Ayah, kini berbuah manis hanya dengan sepucuk surat balasan dari Bunda.

Setelah menerima surat dari Bunda, perasaan yang terasa pedih di hatiku perlahan mulai membaik. Aku sudah dimaafkan oleh Ayah, dan itu adalah hal yang sangat membahagiakan untukku lebih dari kabar baik yang pernah aku dapatkan selama ini.

 Surat dari Bunda merupakan obat penawar yang sangat luar biasa untukku, bahkan Lina begitu antusias saat aku memutuskan kembali ke rumah, dimana dulu aku di besarkan.

“Aku dukung sepenuhnya kalau kamu ingin pulang untuk mengunjungi kedua orang-tuamu. Mungkin ini salah satu impianku sejak dulu. Ya, aku sangat ingin melihatmu dan orang tuamu bersatu,” ucap istriku, saat aku mengutarakan kalau aku sangat ingin bertemu dengan kedua orangtuaku.

Sosok wanita sempurna, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan wanita cantik dihadapanku. Dia begitu baik dan benar-benar memahami apa yang aku rasakan dan apa yang ingin aku curahkan, beruntung aku memiliki istri sepertinya.
***
PESAWAT JURUSAN JAKARTA-SURABAYA sudah melambung tinggi diangkasa. Rumah-rumah terlihat rata dari atas, laut terlihat lebih luas dari yang kubayangkan. Tatapanku menerawang jauh, membayangkan aku akan bersujud dikaki Ayah untuk memohon maaf, dan aku akan memeluk Bunda dengan erat janjiku.

Waktu serasa cepat berlalu, detik menjadi menit perlahan berubah menjadi pusaran waktu yang tidak kuhitung berapa jam perjalan Jakarta menuju Surabaya.

Halaman  rumah sederhana itu sekarang sudah di depan mataku. Aku melihat sosok pria paruh baya sedang duduk sambil membaca Koran, seperti kebiasaannya dulu. Langkahku terhenti di sudut pagar bersama Lina dan Carrel. Sungguh aku tidak berani melangkah saat sosok tua itu tengah kusyuk menatap koran ditangannya. Tiba-tiba saja Carrel berlari, seolah mengerti jika lelaki tua itu adalah kakeknya.

“Kakekkk…!” teriak Carrel seraya berlari, memecah konsentrasi lelaki tua itu.
“Hmm, kamu anak siapa?” tanya lelaki itu heran. Aku hanya melihat dari sudut pagar. Lina sesekali membelai punggungku.

“Kakek, aa..ku..Carrel…” ucap putraku dengan suara terbata-bata. Lelaki tua itu semakin heran dengan tingkah anak kecil dihadapanya. Lantas Tinka datang menghampiri Carrel. Sambil berjongkok gadis cantik itu membelai rambut anakku.

“Anak pintar… Kamu dari mana? Lalu, dengan siapa kamu kemari?” tanya Tinka seraya mengimbangi bahasa Carrel yang manja. Carrel berbalik, lalu menunjuk ke arah kami berdua di balik pagar.

“Itu Papa sama Mama Carrel, Tante…”  Tinka terdiam tak percaya, dipeluknya tubuh mungil Carrel dengan penuh kasih sayang. Air matanya jatuh berderai, tangis pecah dan semakin terdengar keras. Aku berlari, dan tersungkur berlutut di kaki Ayah. Sedang Lina istriku berjalan perlahan dengan buket bunga Lili digenggamanya.
“Maafkan Keni, Yah…” kataku dengan isak tangis yang terasa sakit.
“Keni bukan anak yang baik. Keni mohon maaf, Yah….” pintaku, penuh penyesalan. Entah mengapa tangisku semakin meraung. Ayah mengusap kepalaku perlahan, dan tidak terasa tetesan air matanya menetes di punggungku.

“Ayah yang salah, Nak. Tapi percayalah, Ayah sangat menyayangimu…” ucapnya penuh keharuan, membuat tangisku kian pecah. Tanpa tak dapat kutahan kupeluk erat-erat tubuh Ayah. Sungguh perasaan itu sulit aku lukiskan dalam bentuk kata-kata, perasaan haru dan bahagialah yang kini kurasakan. Tinka memeluk tubuhku dengan penuh haru, sedangkan Carrel menerobos dengan kasar, berusaha ingin dipeluk sang kakek.

“Cucu kakek yang tampan…” ucap Ayah bangga sambil memeluk Carrel. Kami disambut tangis oleh Tinka dan Ayah. Hati kecilku masih terus berkecamuk, tak sabar rasanya untuk bertemu Bunda. Kuhapus air mataku, lalu Lina memberikan buket bunga Lili yang sejak tadi ditangan istriku. Tinka tidak henti memeluk dan mencium Lina istriku dan mencurahkan betapa kagumnya akan sosok Lina.
“Dimana Bunda, Dik?” tanyaku pada Tinka.
Suasana tampak hening sejenak. Tinka menatap wajah Ayah.
“Dibelakang, Kak. O ya, sebaiknya Kakak duduk dulu, biar Tinka buatkan minum,” kata adikku, setelah kami masuk ke ruang tamu.

Aku berjalan dengan setengah berlari menuju dapur dan membawa Bunga Lili kesukaan Bunda. Aku ingin sekali memberikan surprise untuk Bunda.

“Jangan, Kak!” teriak Tinka yang tak kuhiraukan.
“Bunda…! Bunda…! Keni pulang, Bunda!” teriakku sambil membuka pintu dapur dan berusaha mencarinya di ruang makan, tapi Bunda tidak juga kutemukan.
“Bunda tidak dirumah, Kak,” Tinka menghentikan pencarianku.
“Bunda sedang keluar? Pergi kemana?” tanyaku semakin penasaran. Tinka terdiam, lalu perlahan menarik tanganku dan berjalan menuju halaman belakang rumah kami.
Kakiku gemetar menatap halaman belakang rumah itu. Disana terlihat hamparan rumput hijau begitu rapi. Mataku berair, dadaku terasa sesak, tubuhku terasa ringan bagai melayang, seakan siap menghantam batu besar dengan terjangan dahsyat yang siap membuat hatiku semakin pilu.
Perlahan kakiku melangkah menghampiri gundukan tanah dengan nisan bertuliskan nama Bunda dengan ukiran yang sangat indah. Kakiku tersungkur, tepat di samping pusara makam Bunda, orang yang sangat aku rindukan, orang yang sangat aku harapkan. Wajahnya tersenyum menyambut kehadiranku, tapi ternyata Bunda-ku tercinta kini telah terbaring abadi di sisi-Nya.
  “Aku ingin sekali memelukmu, Bunda. Keni kangen sekali belaian kasih sayang tangan Bunda mengusap rambut Keni pada saat Keni menangis pilu…”
Aku kangen mendengar suara Bunda saat Bunda bercerita tentang sejarah para nabi sebelum aku tidur.
Aku kangen akan kebaikan Bunda yang setiap pagi membangunkanku, memandikanku, menyiapkan sarapan saat aku pergi ke sekolah.

Semua bayangan tentang Bunda teringat, mengalir seiring air mata yang membasahi pipiku, basah dan terasa pedih, sakit bagai teriris, dan ada rasa sesal menggumpal di dalam dadaku. Mengapa tidak dari dulu aku datang dan memberanikan diri untuk pulang.

“Aku kangen dengan kemarahanmu saat aku berbuat nakal.”
“Bunda, setiap kali aku kangen padamu, air mata ini mengalir begitu saja tanpa dapat kucegah. Sekarang aku  datang, Bun… Aku datang bersama istri dan cucumu. Cucumu yang tidak sempat kau lihat kehadirannya,” kataku dengan lelehan air mata dan kepedihan hati yang menusuk.

“Bunda… Keni datang dengan istri dan cucu Bunda yang tampan. Namanya Carrel Kenatan Satria, Bun. Carrel Kenatan Satria adalah nama yang akhirnya disetujui Ayah mertuaku setelah kami berdebat cukup panjang tentang arti sebuah nama.”

“Ia mirip sekali dengan Keni, Bun. Carrel juga nakal, cengeng, dan selalu bikin mamanya repot, sama seperti Keni dulu, yang selalu saja bikin Bunda repot.”

“Keni menyaksikan sendiri saat proses kelahirannya, Bun. Keni nyaris pingsan melihat darah keluar begitu banyak. Tapi perasaan Keni begitu menakjubkan, Keni terharu mendengarnya menangis untuk pertama kali.”

“Keni bahagia, Bun. Keni telah menjadi seorang ayah. Sekarang Keni datang, Bunda. Diatas pusaramu aku menangis dan berdoa. Mengenang segala salah dan dosaku kepadamu. Kepergianmu telah mendewasakanku dan mengajarkanku akan pentingnya arti hidup untuk menjadi manusia yang berguna bagi sesama.

Kepergianmu telah mengajarkanku, bagaimana harus mencintai dan menyayangi, bagaimana harus tulus berkorban dan bersabar, bagaimana harus berjuang demi anak-anaknya. Hingga saat terakhir hayatmu, engkau salalu berdoa demi kebahagiaan anak-anakmu. Bila  datang saatnya nanti, akan aku ceritakan segala kebesaran dan rasa kagumku akan sosok Bunda pada putraku.

Dengan diiringi rinai gerimis kupanjatkan doa-doa suciku, semoga engkau mendapatkan tempat terbaik disisi-Nya.

“Bunda… Keni datang membawa buket bunga Lili yang Bunda sukai. Keni ingin sekali memeluk Bunda, Keni sayang Bunda karena Allah.”

Rinai gerimis kian membalut rasa haru kepergian Bunda yang tidak kuketahui sebelumnya. Lina membelai bahuku dengan lembut. Terlihat jelas di wajah cantiknya menahan tangis melihatku tak berdaya memeluk makam Bunda.

“Keni… Bundamu tentu bahagia sekali hari ini. Bundamu sudah menantikan hari ini, Nak,” kata Ayah, membesarkan hatiku. Tinka menangis di punggung Ayah.

Air mata masih membasahi pipi, sesak masih memenuhi rongga dadaku, dan isak tangis masih terasa pilu. Tinka memelukku erat-erat.

“Maafkan Tinka, Kak. Bukan maksud Tinka membohongi, Kakak. Tinka hanya ingin Kakak pulang, ” ujar Tinka dengan isak tangis yang semakin terdengar merintih. Kuusap rambut ikalnya, lalu kucoba untuk mengerti apa yang dilakukan Tinka. Tujuan gadis cantik itu baik, dia membalas surat atas nama Bunda tujuannya hanya untuk membuatku kembali kepelukan keluarga besarku.

Segala sesuatu yang telah pergi tidak mungkin akan kembali lagi. Biarlah kepergian Bunda menjadi pelajaran berharga untukku, belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik, berusaha mengerti jika di balik sebuah peristiwa pastilah Tuhan memberi rencana lain yang mungkin lebih baik dari yang kujalani sekarang.

Hanya doa suci yang dapat aku berikan untuk Bunda tercinta, yang telah mendapat tempat terbaik disisi-Nya.

“Sebaik-baik apa yang ditinggalkan oleh seseorang setelah kematiannya adalah tiga perkara : anak shalih yang mendoakannya, shadaqah mengalir yang pahalanya sampai kepadanya, dan ilmu yang diamalkan orang setelah (kematian) nya” (HR Ibnu Majah).

SELESAI


0 Komentar

Type and hit Enter to search

Close